--> Skip to main content

Kyai Romli; Kyai Keramat Pencetus Istighotsah NU

Jika kita melihat teks Istighosah di kalangan Nahdliyyin kini, hal itu tak lepas dari nama KH. Muhammad Romli Tamim, sang penyusun Istighotsah, yang juga seorang sesepuh Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Indonesia.

Para santri Pondok Njoso (PP.Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang), biasa menyebutnya dengan sebutan agung, Mbah Yai Romli. Mbah Yai Romli adalah pengasuh Pondok Njoso generasi kedua, sepeninggal ayah beliau, KH.Tamim Irsyad. Mbah Yai Romli adalah putra ke 3 dari 4 bersaudara. Kakak beliau, Gus M. Fadil, meninggal sejak belia. Kakak kedua beliau adalah Nyai Siti Fatimah, istri dari KH.Cholil Juremi (Mursyid Pertama), yang kelak menjadi guru tasawwuf beliau. Adik beliau, KH.Umar Tamim, adalah ayah dari KH.As’ad Umar, Pengasuh Pondok Njoso, speninggal Dr. KH. Musta’in Romli.

Banyak kisah tentang Mbah Yai Romli, karena beliaulah Kyai yang namanya masih terus hidup di hati para santri Pondok Njoso dan murid Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyah hingga kini. Di kalangan santri Pondok Njoso, Istighotsah gubahan beliau merupakan amalan wajib setiap bakda jama’ah shubuh di seluruh asrama Pondok Njoso yang memiliki sekitar 7000 santri itu. Selain itu, nama Mbah Yai Romli merupakan sebuah “kontrol sosial” bagi para santri di Pondok Njoso. Bagaimana tidak, setiap segala sesuatu yang dilkakukan oleh santri, lazimnya nasehat maupun kalam hikmah yang dipegangi sebagai prinsip adalah “ngalap berkah Mbah Yai Romli”. Ada satu niat khusus yang masih penulis ingat setiap akan ro’an di area pondok Njoso, yakni “niat ingsun nyaponi latare Mbah Yai Romli, tabarukan Lillaahi Ta’aalaa”. Lain amal , lain juga ceritanya. Para santri Pondok Njoso setiap akan melakukan perbuatan ma’shiyat mungkin akan teringat lagi sebuah wanti-wanti dari Mbah Yai Romli, “sopo santri sing nyolong dom neng pondok, iso2 nyolong jaran lek wes muleh”. Begitulah kami, mencintai beliau sebagai seorang ‘Aarif Billaah yang sangat melekat di hati. Bukan fanatik buta istilahnya, namun mencintai ulama’ dan ngalap berkahnya sebagai warotsatul Anbiya’, yang itu juga merupakan bagian dari ajaran Rasulullah SAW.

Jariyah beliau bagi ummat Islam sangatlah besar. Selain Pondok Pesantren Darul Ulum yang makin eksis dan maju hingga kini, beliau juga Guru Besar Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Indonesia. Seperti kita ketahui, Thoriqoh beliau hingga kini makin hari makin berkembang, selain berada di Pondok Njoso, yang kini disepuhi oleh putera beliau, KH.Dimyathi Romli, juga di Surabaya di bawah bimbingan Al-Maghfurlah KH. Asrori bin KH.Utsman Al-Ishaqi (Al Khidmah), dan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Karangkates Kediri di bawah bimbingan Al-Maghfurlah KH.Makki, juga di Cukir Jombang oleh Al-Maghfurlah KH. Adlan ‘Aly.

Karomah Mbah Yai Romli

Bukan beliau jika tidak akrab dengan karomah. Salah satu karomah beliau yang banyak diriwayatkan oleh para Kyai diantaranya adalah saat berkecamuknya perang melawan sekutu yang diboncengi NICA pada bulan November 1945. Alkisah, di zaman pertempuran melawan sekutu berkecamuk kembali di Tanah Air, tepatnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, beliau menggerakkan santri-santri untuk maju perang di barisan komando Hadratusy Syaikh KH.Hasyim Asy’ari, yang juga guru sekaligus mertua beliau. Beliau sendiri turut terjun ke medan tempur saat itu. Sebelumnya para santri diberi minuman dan dibekali kepalan-kepalan tanah liat yang telah diasma’i. Konon, setiap kepalan tanah liat itu dilemparkan, akan bereaksi seperti bom yang meluluh lantakkan musuh. Dan seperti kita ketahui bersama, kemenangan berhasil diraih para pejuang Hizbullah saat itu. Di lain kesempatan, konon Mbah Yai Romli pernah di tahan oleh penjajah, namun anehnya setiap sholat jama’ah di Pondok Njoso akan dimulai, beliau selalu hadir dan mengimami sholat, namun kemudian kembali lagi. Hal inilah yang pada akhirnya menggemparkan para penjajah saat itu. Karena keanehan Mbah Yai Romli saat itu mengundang simpati besar masyarkat yang ingin setiap hari berdatangan mengunjungi beliau di penjara. Beliaupun dibebaskan oleh penjajah. Lain lagi tentang bioskop yang konon pernah ada di sekitar pasar Peterongan. Karena keberadaan bioskop itu menjadi ajang ma’shiyat dan sangat meresahkan masyarakat, hingga banyak yang mengadukan hal itu kepada beliau. Beliau hanya berpesan untuk melemparkan beberapa butir batu ke halaman bioskop tersebut. Konon beberapa waktu kemudian bioskop tersebut bangkrut dan tutup dengan sendirinya.

Mbah Yai Romli wafat sekitar tahun 1958 pada umur 70 tahun, dan dimakamkan di Makam Keluarga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang. Semoga kelak kita dikumpulkan dengan Rasulullah SAW dan para kekasih kebanggaan beliau fii a’la jannatil khuld…aamiin. Walloohu A’lam.

Lahul Faatihah….
Penulis: Muhammad Kanzul Firdaus
http://suara-nu.com/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar