--> Skip to main content

Kekuasaan Itu Adalah Pergantian


Ketika Soekarno muda dan teman-temannya menggugat praktik kolonialisme Belanda, ia mengajukan argumentasi bahwa jika Indonesia dipimpin oleh bangsa sendiri, Negeri ini akan menerapkan keadilan dan menjamin kemerdekaan setiap warganya.

Tahun 1945, Soekarno dipilih melalui Sidang PPK, sebagai Presiden Pertama RI, bersama dengan Moh. Hatta, sebagai Wapres Pertama RI.

Namun pada tahun 1950, Soekarno seperti lupa dengan janji-janji yang diucapkan pada masa-masa tahun 1920 hingga 1930-an. Hatta melihat Soekarno mempunyai kecenderungan anti demokrasì. Fraternitair dan Egalitair yang pernah diusungnya seperti ditinggalkan. Hatta protes. Ia menganggap tidak bisa lagi sejalan dengan Soekarno. Setelah mengeluarkan Maklumat Nomor X, Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wapres.

Soekarno pun melenggang sendirian di panggung kekuasaan. Aidit datang menemani. Soekarno makin menjadi. Angkatan Darat menagih janji. Kekesalan makin menjadi, peristiwa Cikini tak bisa ditahan lagi.

Pasca peristiwa Cikini, hubungan Soekarno dengan Angkatan Darat mengalami pasang surut. Abdul Haris Nasution, sebagai KASAB (Kepala Staf Angkatan Bersenjata) merasa tidak lagi dibutuhkan Pemerintah. Soekarno memainkan politik belah bambu di tubuh Angkatan Darat. Rivalitas antarKODAM dibangkitkan. KODAM Brawijaya dengan tegas mendukung Soekarno. Demikian pula dengan Tjakrabirawa. Dengan belah bambu itu, Soekarno merasa di atas angin. Pada tahun 1962, di tengah menguatnya isu pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo, Soekarno ditahbiskan sebagai Presiden Seumur hidup, dengan tambahan gelar Padoeka Jang Moelia Pemimpin Besar Revoloesi.

Tahun 1965, isu PKI meledak. Angkatan Darat berhasil memanfaatkan momentum ketidakpercayaan publik terhadap Soekarno. Terbunuhnya 6 Jenderal AD dijadikan sebagai celah untuk menggulingkan Soekarno.

Pada tahun 1966, mahasiswa bergerak. Cosmas Batubara dan Abdoel Ghafur tampil sebagai pemimpin pergerakan. UI bergolak begitu kedua warga mereka, Cosmas dan Ghafoer dimarahi habis-habisan oleh Soekarno di Istana Bogor.

Situasi makin tidak terkendali. Mahasiswa dan pelajar turun ke jalan. Hanya satu agenda, menggusur Soekarno dari kekuasaan. Soekarno meradang. Di dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Soekarno menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk perjalanan bangsa ke depan. Ia tidak mau mundur dari kekuasaan sebelum ada figur yang ia tunjuk untuk menggantikan.

Pernyataan itu sampai kepada pimpinan Angkatan Darat. Melalui tiga orang jenderal, Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M. Yusuf, AD memaksa Soekarno untuk menyerah. Soekarno pun terpaksa menulis SUPERSEMAR. Oleh Jend. Soeharto, surat itu diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan.

Angkatan Darat pun bergerak. Demonstrasi mahasiswa dihadapi dengan pendekatan militer. Arif Rachman Hakim, mahasiswa FKUI tewas meregang nyawa ketika memimpin aksi mahasiswa UI ke istana. UI makin bergolak. Soekarno disalahkan atas tewasnya Arif Rachman Hakim. Situasi makin tidak terkendali.

Di luar sana, AD ternyata membentukan Sekber Golkar untuk menyikapi situasi politik yang makin tidak terkendali.

Tahun 1967, Soekarno dinilai kehilangan legitimasi. Gelar Bapak Proklamator seakan tidak berarti. "Rakyat" kecewa. Dengan sikap Soekarno yang makin tidak peduli. Di tengah inflasi yang kian meninggi (hingga 300%), Soekarno malah mainkan gengsi. Monas dan Istora dibangun untuk tunjukkan bahwa Indonesia masih punya harga diri.

Sekber Golkar, militer (AD) bersama mahasiswa bersatu perkuat diri. Jend. Abdul Haris Nasution bergerak selamatkan konstitusi. Diraihnya kursi jabatan Ketua MPRS untuk menegakkan konstitusi. Sidang Istimewa pun digelar untuk mengadili tokoh proklamasi. Soekarno membela diri. Melalui Nawaksara, dia menegaskan bahwa dia bersih dari semua yang dituduhkan. Namun apa lacur, Sidang menolak. Mandat sebagai Presiden pun dicabut. Kewenangan Soekarno dilucuti. Ia pun ditahan di Wisma Yaso seorang diri.

Babak baru dimulai. Soeharto memegang kendali. Jabatan sebagai Acting Presiden dijalani sepenuh hati. Hingga tiba tahun 1968, Soeharto resmi sebagai Presiden Kedua RI. Di awal jabatannya, Soeharto yang tidak diperhitungkan sebagai kuda hitam kekuasaan, berjanji akan melaksanakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu:

1. Melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen
2. Menurunkan harga-harga
3. Membubarkan PKI

Tuntutan ketiga sudah dipenuhi melalui TAP MPRS No. XX Tahun 1966. Tuntutan kedua dipenuhi melalui kebijakan subsidi.

Soeharto pun tidak lupa kepada para mahasiswa atas jasanya. UI pun didaulat sebagai kampus perjuangan Orde Baru. Banyak guru besar UI yang kemudian direkrut untuk jabatan elit negara. Cosmas Batu Bara dan Abdul Ghafur pun tercatat beberapa kali memegang jabatan menteri di era Soeharto.

Namun begitulah kekuasaan. Kekuasaan tidak akan konsisten dengan janji. Kekuasaan tidak mengenal kata amanah. Para aktivis mahasiswa yang dulu mengkritik Soekarno karena ketidakadilannya, justru menjadi pendukung kelaliman Soeharto yang tidak kalah pula dalam ketidakadilan. Para mahasiswa yang dulu menolak jabatan "Presiden seumur hidup" untuk Soekarno, dalam kenyataannya menikmati masa jabatan 30 tahun yang dipegang Soeharto. Kekuasaan selalu mempunyai argumentasi dan nalarnya sendiri. Yang sering disampaikan adalah ini semua demi kemajuan bangsa. Artikulasi yang ambigu dan sumir, karena bisa jadi makna bangsa itu adalah golongan tertentu. Bangsamu dan bangsaku belum tentu sama. Barangkali maksudnya adalah golonganmu dan golonganku belum tentu sama.

Dari narasi di atas, kita bisa memahami hakikat kekuasaan adalah pergantian. Pergantian dari siapa melakukan apa.

Penulis: Ust. Abdi Kurnia Djohan
Editor: M. Aris
Newest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar